Tentang Berlindung Kepada Allah dari Berbagai Kejahatan
Sifat paling dasar manusia adalah membutuhkan perlindungan dari ancaman kejahatan, baik kejahatan yang dilakukan oleh jin maupun manusia, karena rasa aman adalah kebutuhan dasar manusia. Fenomena yang terjadi di Indonesia, ketika masyarakat dihadapi dengan ujian kehidupan mereka meminta perlindungan keada orang pintar seperti paranormal dan dukun. Di saat mereka meminta perlindungan kepada orang pintar, maka yang dijadikan dasar perlindungannya adalah jin dan setan. Sebagaimana dalam firman-Nya :
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا (6)
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin : 6)
Bahwasanya saat manusia meminta perlindungan kepada jin dan setan, maka justru yang mereka lakukan adalah dengan menyesatkan dan menambah dosa manusia, serta menjadikan makhluk-makhluk tersebut (jin dan setan) semakin sombong dan melampaui batas.
Isti’ādzah yang mempunyai arti meminta perlindungan dan penjagaan. Orang yang berlindung kepada Allah berarti dia telah membawa dirinya kepada Allah dan meminta penjagaan kepada Dzat yang menguasai alam semesta dari suatu perkara yang dapat mengganggu atau membinasakannya. Ia mengandung sikap membutuhkan Allah, dan keyakinan akan kesempurnaan penjagaan dan perlindungan-Nya.
Dua Sūrah yang terdapat dalam al-Quran yang menunjukkan adanya perintah agar kita senantiasa memohon perlindungan hanya kepada sang Khaliq (Pencipta seluruh makhluk), maka sudah sepatutnya kita hanya akan memohon perlindungan kepada-Nya bukan kepada selain-Nya. Sūrah al-Naas:1-6 dan Sūrah Al-Falaq: 1-5merupakan dua Sūrah yang melindungi yang disebut juga dengan al-Mu’awwidzatain.
Adapun Sūrah an-Naas telah dijelaskan terdahulu, maka dalam kesempatan ini penulis hanya akan menjelaskan tentang tafsir Sūrah al-Falaq.
Tafsir Surah Al-Falaq
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾ وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾ وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾
(1) Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, (2) dari kejahatan makhluk-Nya, (3) dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, (4) dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, (5) dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.
Sūrah al-Falaq terdiri atas lima ayat, yang mana sūrah ini termasuk golongan Sūrah al-Makkiyah, nama al-Falaq diambil dari kata al-Falaq yang terdapat pada ayat pertama sūrah ini, adapun mengenai pokok-pokok isinya mengenai perintah agar kita berlindung kepada Allah SWT dari segala macam kejahatan.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾ : (1) Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh. Tuhan yang menguasai al-Falaq adalah Allah. Al-Falaq adalah masuknya waktu subuh, dan bisa pula bermakna lebih umum bahwa falaq adalah segala yang Allah putarkan berupa memasukkan waktu subuh dan yang menumbuhkan biji-bijian tumbuhan dan buah-buahan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :إِنَّ اللَّهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَى “Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.” (QS. Al-An’am : 95). Dan firman-Nya : فَالِقُ الْإِصْبَاحِ ”Mengingsingkan pagi” (QS. Al-An’am : 96)
Dalam beristi’adzah dengan sifat seperti pada ayat (رَبِّ الْفَلَقِ) adalah bagian dari sikap optimisme seorang hamba dan tanda peringatan akan cahaya yang nampak setelah kegelapan yang tidak memberikan harapan, kelapangan setelah kesempitan, kesenangan setelah penderitaan. Dan al-Falaq yakni segala sesuatu yang tertutup kemudian Allah merenggangkannya, seperti tumbuhan yang tumbuh dari bawah tanah, mata air yang pecah dari gumpalan awan, bayi yang dilahirkan dari rahim ibunya dan sebagainya yang bersifat tertutup. Kata al-Falaq yang berarti subuh adalah permulaan munculnya cahaya dan yang mengusir pasukan kegelapan dan orang-orang yang berbuat kerusakan pada malam hari.
Berlindung dari Empat Hal
Sūrah al-Falaq mencakup permohonan perlindungan dari empat hal:
a. Kejahatan makhluk yang memiliki kejahatan secara umum
مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾ : (2) dari kejahatan makhluk-Nya. Ini mencakup seluruh makhluk Allah, baik manusia, jin maupun binatang. Maka memohon perlindungan haruslah kepada Penciptanya dari keburukan yang ada padanya.
Ayat ini mencakup seluruh yang Allah ciptakan baik manusia, jin, hewan, benda-benda mati yang dapat menimbulkan bahaya dan dari kejelekan seluruh makhluk. Ayat ini juga mencakup meminta perlindungan pada diri sendiri. Ingatlah bahwa nafsu selalu memerintahkan pada kejelekan. Allah ta’ala berfirman : إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي “Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nasu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf : 53). Maka sudah sepatutnya ketika seseorang mengucapkan ayat ini, maka yang pertama kali terbetik dalam benaknya haruslah dirinya sendiri. Jadi, dia memohon perlindungan kepada Allah atas kejelekan dirinya sendiri yang terkadang menimbulkan keburukan tanpa ia sadari.
b. Kejahatan malam apabila telah gelap gulita
وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾ : (3) dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, yakni aku berlindung kepada-Nya dari keburukan malam jika telah datang. Dikatakan karena pada malam hari hewan-hewan buas keluar dari liangnya dan orang-orang jahat mulai keluar untuk berbuat kerusakan.
غَاسِقٍ : malam apabila menjadi gelap gulita dan matahari pun pergi, maka ketika malam telah tiba denga gelapnya, pada saat itu akan bermunculan begitu banyak keburukan dan kejahatan sehingga bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut berdampak buruk pula pada manusia. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk meminta perlindungan kepada Allah azza wa jalla dari segala bahaya kejahatan yang terjadi pada malam yang gelap gulita, baik itu kejahatan yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia, ataupun kejahatan yang disebabkan oleh ulah para syaithan bahkan setiap kita harus meminta perlindungan dari keburukan yang disebabkan oleh diri kita sendiri.
c. Kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhulbuhul
وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾ : (4) dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
(النَّفَّاثَاتِ) : yaitu wanita-wanita tukang sihir yang menyihir manusia, mereka melakukan itu dengan mengikat matra-mantra pada tali kemudian maniupnya dengan bantuan syaithon, hembusan yang jahat. Dari sihir itu timbullah penyakit dan berbagai keburukan yang tertimpa pada manusia. Oleh karena itu, secara hukum tukang sihir boleh dibunuh dalam keadaan apapun, karena perbuatan mereka yang menimbulkan banyak keburukan dan kerusakan.
Umumnya yang menjadi tukang sihir adalah wanita, namun ayat ini juga mencakup tukang sihir laki-laki dan wanita. Sebagaimana yang dilakukan oleh penyihir laki-laki dari kaum Yahudi yang menyihir Nabi saw.
d. Kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾ : (5) dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki
Orang dengki adalah orang yang senang atas lenyapnya nikmat dari orang yang ia dengki dengan berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan nikmat tersebut dengan berbagai cara. Oleh karena itu, kita perlu memohon perlindungan kepada Allah swt dari kejahatannya, dan untuk meruntuhkan tipu dayanya.
Penyebar penyakit-penyakit ‘ain juga termasuk muncul dari orang yang memiliki sifat dengki, bertabiat buruk dan berjiwa keji. Pelaku ‘ain adalah pelaku hasad (pendengki) pada hakikatnya, bahkan dia lebih berbahaya dari pada pelaku hasad. Oleh karena itu, dalam firman-Nya Allah hanya menyebut pelaku hasad tanpa menyebut pelaku ‘ain, karena sesungguhnya sifat hasad lebih umum dan mencakup di dalamnya penyakit ‘ain dan dapat dipastikan bahwa dia adalah pelaku hasad, tetapi tidak semua pelaku hasad adalah pelaku ‘ain.
Penghubungan antara sifat hasad dan sihir dalam dua ayat yang saling berdampingan ini menunjukkan adanya hubungan di antara keduanya, setidaknya ada pengaruh halus yang terjadi pada diri sang penyihir dengan sihirnya, dan pada pendengki degan sifat dengkinya, tetapi dari satu sisi keduanya masuk dalam makna “kerusakan” atau “bahaya” secara umum, keduanya merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menjatuhkan orang lain dengan cara yang halus dan keduanya adalah perbuatan tercela yang dilarang.
Pendengki dan penyihir dihubungkan dalam surat ini, karena keduanya bermaksud pada orang lain suatu keburukan, dan syaithon senantiasa bersama pendengki dan penyihir, dia selalu berbicara kepada keduanya dan menjadi teman untuk keduanya. Tetapi yang membedakan di antara keduanya adalah bahwasanya pendengki senantiasa ditolong oleh syaithon, tanpa ia harus meminta kepadanya. Sedangkan penyihir akan mendapat pertolongan dari syaithon karena dia meminta kepadanya.
Allah menutup surat ini dengan hasad, sebagai peringatan akan bahayanya perkara ini. Hasad adalah memusuhi nikmat Allah. Rasulullah saw bersabda tentang buruknya perkara ini :
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدُ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ. (أَوْ قَالَ الْغَشْبَ)
“Hati-hatilah kalian dari hasad, karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar atau semak belukar (rumput kering).” (HR. Bukhari-Muslim)
Orang yang hasad hanyalah akan mencederai dirinya sendiri, karena hasad atau kedengkian adalah bukti kurangnya iman. Dengki itu bukti tidak ridha pada perbuatan Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dengki itu sifat ingin mengatur Allah sesuai hawa nafsunya dan tentu saja sikap itu merupakan sifat yang kurang memiliki adab terhadap Allah swt.
Wa Allahu ta’ala a’lamu bi as-shawwab
SUMBER :
- Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar.
- Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an
- Tafsir Juz ‘Amma / Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
- Tafsir Juz ‘Amma / Syaikh Prof. Dr. Shalih Fauzan al-Fauzan
- Tafsir al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr Wahbah Az-Zuhaili
- Maktabah Syamila
- www.tafsirweb.com