Harta haram yaitu setiap harta yang didapatkan dari jalan yang dilarang oleh syariat.
Umat manusia saat ini hidup di era modern, dituntut untuk mengumpulkan dan menumpuk harta sebanyak mungkin agar bisa hidup layak dan tenang menghadapi masa depan diri dan keluarganya. Pada saat itu manusia tidak lagi peduli dari mana harta yang dia dapatkan.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَيَأْتيَنَّ عَلىَ النَّاسِ زَماَنٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أمِنْ حَلاَلٍ أمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu masa, orang-orang tidak peduli dari mana harta dihasilkannya, apakah dari jalan yang halyl atau dari jalan yang haram”. (HR Bukhari)
Orang-orang tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua:
- Sebagian manusia tidak pernah peduli akan kaidah rabbani dalam mencapai tujuan mencari harta, kelompok ini dianjurkan untuk memeriksa kembali akidah mereka, dimana mereka telah menjadikan dinar dan dirham sebagai tuhanya dan tidak mengindahkan peraturan Allah Ta’ala.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mendoakan kehancuran untuk kelompok ini dengan sabdanya:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّنَر، وعَبْدُ الدِّرْهَمِ، وعَبْدُ الخَمِيصَةِ
Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian…(HR. Bukhori).
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam adalah hamba Allah yang dikabulkan setiap doanya, bila ia mendoakan kehancuran untuk para pemuja harta, niscaya kebinasaan akan menimpa mereka.
Merekalah bukan lagi hamba Allah yang taat dan patuh serta tunduk terhadap perintah-Nya, karena ketergantungan hati mereka terhadap harta menyamai bahkan melebihi hubungan mereka dengan Allah Ta’ala, manakala terjadi benturan antara keuntungan perniagaan mereka dengan syariat Allah niscaya perintah Allah akan dikesampingkan.
Mereka tidak menyakini bahwa harta yang didapatkan adalah dari Allah Ta’ala, melainkan murni karena usaha mereka atau keahlian yang dimiliki, hal ini seperti perkataan Karun, sebagaimana yang tercantum di dalam surat Al Qashash ayat 78:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي ۚ
Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al Qashash: 78).
Padahal Allah SWT telah berfirman:
ۚ إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ ۖ
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya”. (Al Ankabuut: 17).
- Sebagian lagi, orang-orang yang masih memiliki dhamir (hati) yang peka, akan tetapi mereka dari kecil tidak pernah mengerti dan mempelajari ketentuan Allah Ta’ala tentang bermuamalah, kelompok ini mau tidak mau akan melanggar syariat Allah saat mengumpulkan harta karena ketidaktahuannya.
Mereka adalah orang yang dimaksud oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu.
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أنْ يَتَفَقَّهَ فِي الدِّينِ، فَقَدِ ارْتَطَمَ فِي الرِّباَ، ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَ ارْتَطَمَ
“Barang siapa yang melakukan perniagaan sebelum mempelajari fikih (muamalah) dia akan terjerumus ke dalam riba, dia akan terjerumus dan terjerumus”. (Sebagaimana dinukil oleh Abu Layts, Tanbih Al Ghafilin, hal. 364).