RAMADHAN TIBA, AKANKAH BERLALU BEGITU SAJA ?

Tamu mulia nan agung sebentar lagi akan hadir. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadhan tahun ini pasti akan dipenuhi dengan iklim nuansa nan Islami. Di sana sini, di hampir semua sudut, sejauh mata kita memandang, selirih telinga kita mampu mendengar, sampai sedalam hati ini mampu merasakan intuisi yang sejuk, semuanya berbau Ramadhan, Islami sekali..

        Di bulan Ramadhan, akan kita jumpai kebiasaan dan kepribadian masyarakat berubah cukup drastis. Dari segi kepribadian; dalam bertutur, dalam bersikap, dalam berperasaan, semuanya terbungkus rapat-rapat dalam kemasan Ramadhan, dengan stempel Islami. Indah sekali, memang sangat indah sekali efek Ramadhan bagi kehidupan masyarakat, khususnya dalam perbaikan moral dan karakter pribadi.

        Tak terbayang, jika iklim Ramadhan ini tak memiliki batas masa berlaku, maka akan kita jumpai dan nikmati bersama-sama kehidupan bermasyarakat yang adem, sejuk dan sangat hangat, kita akan mampu merasakan suasana surga dalam kehidupan dunia. Ketika etika dan tata krama di junjung tinggi, kehati-hatian dalam bersikap menjadi pijakan yang selalu siap untuk dipijak, bersahutan tutur yang lembut dan penuh kesejukan, petuah nasihat bertebaran di sana sini, tangan begitu ringannya menjabat tangan yang lain, tanpa mengenal batasan material ataupun status sosial.

        Iklim kehidupan seperti itulah setidaknya yang menjadi cita-cita luhur setiap manusia, namun ironisnya, justru dinamika kehidupan seperti itulah yang saat ini sedang jarang kita jumpai, di hari-hari dan bulan selain Ramadhan. Bulan Ramadhan seakan hanya menjadi kegiatan seremonial, kegiatan tahunan, bulan perayaan yang tidak ada bedanya dengan hari-hari seremonial lainnya.

        Coba kita lihat esok, ketika ramadhan telah mulai berduyun meninggalkan kita, lantas kita pun mulai kembali kepada rumah yang disebut duniawi, kembali pada kepribadian masing-masing, kembali pada karakter sebagai watak pribadi, kembali pada kebisingan perselisihan yang berujung pada konflik satu sama lain, sebut saja itu sebagai kehidupan sehari-hari.

        Sebuah kehidupan yang kesemuanya kembali pada pribadi dan individu masing-masing, yang biasanya berkata kotor pelan-pelan kembali berkata kotor, yang biasanya saling menggunjing kembali mengumpulkan informasi negatif untuk dijadikan bahan gunjingan, penyakit hati seperti iri, dengki, sombong, egois, sering berkata kotor, berkata kasar, saling mengolok akan kembali pada pribadinya masing-masing. Seolah hati manusia pada bulan ramadhan sengaja disewakan kepada kepribadian Islami, namun ketika ramadhan telah usai, hati akan ditinggalkan oleh kepribadian islami tersebut. Kepribadian Islami selama ramadhan kian hari kian tereliminasi, fluktuatif menyesuaikan dengan kadar keimanan seseorang. Seperti itukah kepribadian kita dari ramadhan satu dengan ramadhan selanjutnya ?

        Kemarin adalah masa lalu, hari ini adalah realita, dan esok adalah cita-cita. Ramadhan kemarin sudah berlalu, Ramadhan kali ini sedang kita lalui, jangan sampai hanya menjadi stasiun kesiasiaaan dalam perjalanan hidup kita. Mari kita miliki cita-cita menjadi pribadi yang semakin baik, menjadi pribadi yang mampu memberi manfaat, menjadi pribadi yang mampu mengolah rasa hati, rasa lidah dan rasa pikiran yang sopan dan santun. Rasanya kok eman-eman selama Ramadhan kita berupaya memperbaiki diri, namun setelahnya kita kembali merusak diri, baik dengan alibi tak sengaja ataupun karena lupa! Eman-emanen Ramadhanmu..

Janganlah kita menjadi pribadi yang merugi!

Tinggalkan Balasan