PENENTUAN AWAL RAMADHAN DALAM MUHAMMADIYAH

Permasalahan penentuan awal bulan qamariah masih belum menemukan titik temunya. Masing-masing pihak masih mempertahankan hasil ijtihadnya. Permasalahan tersebut berawal dari perbedaan interpretasi hadis-hadis awal bulan, ada yang memahami secara tekstual yang menghasilkan kubu rukyah dan ada yang memahami secara konstekstual dan menghasilkan kubu hisab. Selain pemahaman tentang dua kubu tersebut, lebih jauh lagi kita harus memahami bagaimana ulama salaf berpendapat, terutama ulama empat madzhab yang sering dijadikan rujukan oleh para ulama khalaf. Dalam pembahasan ini ditemukan bahwa pendapat ulama empat madzhab mengenai metode penentuan awal bulan kamariah berbeda-beda, ada yang memakai rukyat, dan ada pula yang memakai hisab. Hal itu wajar, karena hal tersebut merupakan produk ijtihadi yang masing-masing mujtahid mempunyai penafsiran yang bermacam-macam. Kita sebagai umat muslim dihadapkan pada dua pilihan, antara penetapan awal bulan ilmiah (shari>’ah/astronomi) atau penetapan awal bulan‎ berjama’ah‎(unifikasi‎ kalender qamariah). Dua opsi tersebut sangat sulit untuk dikompromikan dan harus ada yang dipilih salah satu di antaranya.

Adapun Muhammadiyah dari awal mengambil metode hisab sesuai dengan ijtihad. Muhammadiyah memahami bahwa QS. Al Baqarah ayat 185 merupakan penggalan ayat untuk menjelaskan sebab timbulnya kewajiban berpuasa, yaitu masuknya bulan Ramadhan yang diketahui secara pasti. Artinya, bulan Ramadan menjadi al-illah al-fa’ilah atau kausa efisien dari wajibnya ibadah puasa. Akan tetapi ayat tersebut tidak memberi tahu bagaimana cara mengetahui masuknya bulan Ramadhan untuk memulai ibadah puasa.

Pakar Falak Muhammadiyah Oman Fathurrahman mengatakan bahwa penegasan mengenai hal itu disebutkan dalam beberapa isyarat ayat dengan kata kunci “hisab” (perhitungan). Misalnya, QS. Ar-Rahman ayat 5:

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

“Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan”.

dan QS. Yunus ayat 5:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan  (waktu)”.

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa matahari dan bulan memiliki sistem peredaran yang ditetapkan oleh Sang Pencipta dan peredarannya itu dapat dihitung. Penegasan bahwa peredaran matahari dan bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi, melainkan suatu isyarat agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum.

“Penetapan awal bulan itu bisa dengan hisab dengan perhitungan. Kalau kita memahami bahwa bulan dan matahari beredar menurut perhitungan, maka kita bisa memprediksi, mengukur, menentukan dengan pasti, dengan akurat,” terang Oman dalam Kajian Ahad Pagi yang diselenggarakan Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Ahad (06/03).
Dalam hadis Nabi Saw juga disebutkan:

“Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika ia terhalang oleh awan di atasmu, maka estimasikanlah!” (HR Muslim). Oman menjelaskan bahwa hadis ini merupakan cara menentukan awal bulan Kamariah terutama Ramadan. Meski hadis ini secara eksplisit membicarakan rukyat, namun justru memberi tempat bagi penggunaan hisab di kala bulan tertutup awan. Artinya hisab digunakan pada saat ada kemusykilan melakukan rukyat karena faktor alam (bulan tertutup awan).

“Dalam hadis tersebut memberikan peluang untuk menggunakan hisab. Lalu diperluas, tidak perlu menunggu mendung sekalipun, hisab tetap bisa digunakan untuk menentukan awal bulan terutama Ramadan dan Syawal,” ujar dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.

Dalam hadis lain disebutkan Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Berdasarkan informasi dari Nabi ini mafhum bahwa beliau memerintahkan rukyat karena itulah sarana mudah yang tersedia pada zaman itu.

Setelah umatnya dapat dibebaskan dari keadaan ummi itu, maka kembali kepada semangat umum al-Quran agar menggunakan hisab untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan menggunakan hisab.

Tinggalkan Balasan