KELOMPOK YANG MENDAPATKAN RUKHSOH PUASA RAMADHAN

Kurang dari dua bulan lagi kita akan kedatangan tamu yang agung, yaitu bulan Ramadhan, bulan yang selalu dinanti-nantikan oleh umat Islam, didalamnya yang penuh dengan kemuliaan dan keberkahan. Salah satu bentuk kemudahan berislam adalah adanya rukhsoh (keringanan) dalam menjalankan syari’at ibadah, seperti halnya dalam ibadah puasa Ramadhan, Allah SWT memberikan keringanan kepada beberapa kelompok manusia boleh untuk tidak berpuasa diantaranya:

1. Laki-laki dan wanita yang tua renta.

Allah SWT berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“…dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (tidak shaum) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” 

Ibnu ‘Abbas RA  berkata, “Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) bagi laki-laki atau wanita tua renta yang apabila tidak sanggup menjalankan shaum, diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka dan setiap harinya memberi makan seorang miskin sebagai ganti satu hari shaumnya”.

2. Orang sakit

Orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, diperbolehkan untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari sebagai fidyah shaum yang telah dia tinggalkan. 

         Namun jika masih bisa diharapankan kesembuhannya tapi jika dia shaum akan menyulitkannya atau sakitnya bertambah parah dan lebih lama sembuhnya, atau kalau shaum dia akan bertambah sakit, atau tidak dapat meminum obat yang dapat membantu penyembuhannya, maka untuk kasus-kasus semacam ini dia diperbolehkan untuk berbuka, dan dia wajib mengqadha’ shaum yang dia tinggalkan, apabila telah sembuh.

Allah SAW berfirman: 

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“…dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan ( lalu dia berbuka ), maka ( wajiblah baginya shaum ) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain… 

3. Pekerja Berat

Seorang pekerja jika dihadapkan pada pekerjaan berat yang ia khawatir bila melakukan shaum akan membahayakan dirinya, maka dia diperbolehkan berbuka dan mengqadha’ shaumnya, apabila dengan meninggalkan pekerjaan beratnya itu dapat membahayakan dirinya. Namun jika tidak membahayakan dirinya, maka dia berdosa apabila berbuka.

4. Musafir.

Orang yang sedang safar dan menempuh jarak yang memperbolehkannya shalat qashar, maka diperbolehkan untuk berbuka pada bulan Ramadhan, sesuai kesepakatan para ‘ulama, baik dia mampu untuk melakukan shaum ataupun tidak, dan baik shaumnya itu memberatkan dirinya maupun tidak.

Adapun jarak yang memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalatnya dan berbuka, menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad adalah perjalanan yang ditempuh dengan unta atau berjalan kaki selama dua hari, misalnya perjalanan antara Makkah dan Jeddah, atau perjalanan yang berjarak 16 farsakh, yaitu sekitar 48 mil ( 88,7 Km).  Dan menurut Imam Abu Hanifah adalah perjalanan yang ditempuh selama tiga hari.

Para ulama’ salaf dan khalaf lainnya mengatakan, “Bahkan dia diperbolehkan untuk mengqashar dan berbuka dalam perjalanan yang ditempuh kurang dari dua hari.” Inilah pendapat yang kuat menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, selama safarnya itu bukan untuk maksiyat.

5. Wanita hamil dan menyusui.

Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan keselamatan jiwa mereka, atau beserta anak-anak mereka sendiri, maka diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka. Namun wajib untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya dan tidak diwajibkan membayar fidyah, seperti halnya orang sakit yang diperbolehkan berbuka.

Dan jika mereka hanya mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya saja, bukan keselamatan jiwa mereka sendiri, maka diperbolehkan berbuka, dan diwajibkan untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya, ditambah dengan membayar fidyah shaum yang ditinggalkannya, karena sebenarnya mereka mampu untuk melaksanakan shaum.

Namun Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui jika meninggalkan shaum cukup baginya untuk membayar fidyah, tidak perlu untuk mengqadha shaum yang ditinggalkannya. 

Dari Imam Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu ‘Umar RA ditanya tentang wanita hamil bila khawatir terhadap (kesehatan) anaknya. Dia menjawab, “Dia berbuka dan memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari sebanyak satu mud gandum.” Dan Ad-Daroquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar RA dan dia menshahihkannya, ia berkata, “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak wajib mengqhada.’ Dan dia meriwayatkan dari jalur yang lain, “Bahwasanya istrinya bertanya kepadanya disaat dia sedang hamil, ia berkata, “Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin setiap hari dan dia tidak wajib mengqhada.” Dan isnadnya jayyid (baik). Dan dari jalur ketiga, darinya, “Sesungguhnya anak perempuannya dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, dan dia sedang mengandung. Lalu dia merasa kehausan di bulan Ramadhan. Maka dia menyuruhnya berbuka, dan memberi makan satu orang miskin setiap hari.” 

Sedangkan ukuran fidyah adalah satu mud gandum, yang sepadan dengan ¼ sha’ atau 675 gram bahan makanan lain.

Allah berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“…dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya ( tidak shaum ) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” 

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِالصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla telah membebaskan separuh shalat bagi musafir, dan juga membebaskan shaum dari seorang musafir, wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.”

Tinggalkan Balasan