Kisah Orang-Orang yang Bertaubat
1. Ma’iz bin Malik Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu.
Buraidah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari ayahnya, beliau menuturkan bahwa Ma’iz bin Malik Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَزَنَيْتُ وَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ تُطَهِّرَنِي
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku, karena aku telah berzina, oleh karena itu aku ingin agar Anda berkenan mensucikan diriku.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menolak pengakuannya. Keesokan harinya, dia datang lagi kepada beliau sambil berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ زَنَيْت
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina.”
Namun beliau tetap menolak pengakuannya yang kedua kalinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang untuk menemui kaumnya dengan mengatakan:
أَتَعْلَمُونَ بِعَقْلِهِ بَأْسًا تُنْكِرُونَ مِنْهُ شَيْئًا
“Apakah kalian tahu bahwa pada akalnya Ma’iz ada sesuatu yang tidak beres yang kalian ingkari?”
Mereka menjawab:
مَا نَعْلَمُهُ إِلَّا وَفِيَّ الْعَقْلِ مِنْ صَالِحِينَا فِيمَا نَرَى
“Kami tidak yakin jika Ma’iz terganggu pikirannya, setahu kami dia adalah orang yang baik dan masih sehat akalnya.”
Untuk ketiga kalinya, Ma’iz bin Malik datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mensucikan dirinya dari dosa zina yang telah diperbuatnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengirimkan seseorang menemui kaumnya untuk menanyakan kondisi akal Ma’iz, namun mereka memberitahukan kepada beliau bahwa akalnya sehat dan termasuk orang yang baik.
Ketika Ma’iz bin Malik radhiyallahu ‘anhu datang keempat kalinya kepada beliau, maka beliau memerintahkan untuk membuat lubang ekskusi bagi Ma’iz. Akhirnya beliau memerintahkan untuk merajamnya, dan hukuman rajam pun dilaksanakan.” (HR. Muslim: 1695)
2. Wanita Ghamidiyah.
Buraidah radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya:
فَجَاءَتْ الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي
“Suatu ketika ada seorang wanita Ghamidiyah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: “Wahai Rasulullah, diriku telah berzina, oleh karena itu sucikanlah diriku.”
Tetapi untuk pertama kalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menghiraukan bahkan menolak pengakuan wanita tersebut. Keesokan harinya wanita tersebut datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ تَرُدُّنِي لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي كَمَا رَدَدْتَ مَاعِزًا فَوَاللَّهِ إِنِّي لَحُبْلَى
“Wahai Rasulullah, kenapa Anda menolak pengakuanku? Sepertinya Anda menolak pengakuanku sebagaimana pengakuan Ma’iz. Demi Allah, sekarang ini aku sedang mengandung bayi dari hasil hubungan gelap itu.”
Mendengar pengakuan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِمَّا لَا فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِي
“Sekiranya kamu ingin tetap bertaubat, maka pulanglah sampai kamu melahirkan.”
Setelah melahirkan, wanita itu datang lagi kepada beliau sambil menggendong bayinya yang dibalut dengan kain, dia berkata:
هَذَا قَدْ وَلَدْتُه
“Inilah bayi yang telah aku lahirkan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ حَتَّى تَفْطِمِيه
“Kembali dan susuilah bayimu sampai kamu menyapihnya.”
Setelah mamasuki masa sapihannya, wanita itu datang lagi dengan membawa bayinya, sementara di tangan bayi tersebut ada sekerat roti, lalu wanita itu berkata:
هَذَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَدْ فَطَمْتُهُ وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ
“Wahai Nabiyullah, bayi kecil ini telah aku sapih, dan dia sudah dapat menikmati makanannya sendiri.”
Kemudian beliau (Nabi) memberikan bayi tersebut kepada laki-laki muslim, dan memerintahkan untuk melaksanakan hukuman rajam. Akhirnya wanita itu dikubur dalam tanah hingga sebatas dada. Setelah itu beliau memerintahkan orang-orang supaya melemparinya dengan batu.
Sementara itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu ikut serta melempari kepala wanita tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah Khalid, seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut. Ketika mendengar makian Khalid, Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مهْلًا يَا خَالِدُ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pemungut pajak (pelaku dosa besar) niscaya dosanya akan diampuni.”
Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya.” (HR. Muslim: 1695)
3. Pembunuh 99 Nyawa.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ لَا فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ نَعَمْ وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللَّهَ فَاعْبُدْ اللَّهَ مَعَهُمْ وَلَا تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلَائِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلًا بِقَلْبِهِ إِلَى اللَّهِ وَقَالَتْ مَلَائِكَةُ الْعَذَابِ إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ فَقَالَ الْحَسَنُ ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
“Pada jaman dahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian orang tersebut mencari orang alim yang banyak ilmunya. Lalu ditunjukan kepada seorang rahib dan ia pun langsung mendatanginya. Kepada rahib tersebut ia berterus terang bahwasanya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang dan apakah taubatnya itu akan diterima? Ternyata rahib itu menjawab: “Tidak, taubatmu tidak akan diterima.” Akhirnya laki-laki itu langsung membunuh sang rahib hingga genaplah kini seratus orang yang telah dibunuhnya. Kemudian laki-laki itu mencari orang lain lagi yang paling banyak ilmunya. Lalu ditunjukan kepadanya seorang alim yang mempunyai ilmu yang banyak. Kepada orang alim tersebut, laki-laki itu berkata: “Saya telah membunuh seratus orang dan apakah taubat saya akan diterima?” Orang alim itu menjawab: “Ya, tidak ada penghalang antara taubatmu dan dirimu. Pergilah ke daerah ini dan itu, karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Setelah itu, beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke daerahmu, karena daerahmu itu termasuk lingkungan yang buruk.” Maka berangkatlah laki-laki itu ke daerah yang telah ditunjukan tersebut. Di tengah perjalanan menuju ke sana laki-laki itu meninggal dunia. Lalu Malaikat Rahmat dan Malaikat Adzab saling berselisih. Malaikat Rahmat berkata: “Orang laki-laki ini telah berniat pergi ke suatu wilayah untuk bertaubat dan beribadah kepada Allah dengan sepenuh hati.” Malaikat Adzab membantah: “Tetapi, bukankah ia belum berbuat baik sama sekali.” Akhirnya datanglah seorang malaikat yang berwujud manusia menemui kedua malaikat yang sedang berselisih itu. Maka keduanya meminta keputusan kepada malaikat yang berwujud manusia dengan cara yang terbaik. Orang tersebut berkata: “Ukurlah jarak yang terdekat dengan orang yang meninggal dunia ini dari tempat berangkatnya hingga ke tempat tujuannya. Mana yang terdekat, maka itulah keputusannya.” Ternyata dari hasil pengukuran mereka itu terbukti bahwa orang laki-laki tersebut meninggal dunia lebih dekat ke tempat tujuannya. Dengan demikian orang tersebut berada dalam genggaman Malaikat Rahmat.” Qatadah berkata bahwa Al-Hasan mengatakan: “Seseorang telah berkata pada kami bahwasanya laki-laki itu meninggal dunia dalam kondisi jatuh tertelungkup.” (Al-Bukhari: 3470, Muslim: 2766)
Kewajiban Berislam Secara Kaffah
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Al-Imam al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsiran ayat yang mulia ini: “Allah ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, hendaklah mereka berpegang kepada tali Islam dan semua syariatnya serta mengamalkan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya dengan segala kemampuan yang ada pada mereka.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 153)
Firman Allah ta’ala “Udkhulu fis silmi” maksudnya adalah Islam. (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 153)
Kemudian firman-Nya “Kaffatan” artinya adalah secara keseluruhan. (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 153)
Kewajiban Menuntut Ilmu Agama
Allah ta’ala berfirman:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“..dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”” (QS. Thaha: 114)
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata bahwa adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan. (Lihat Fathul Bari: 1/141)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan ilmu yang disebutkan dalam nash-nash (Al-Qur`an dan As-Sunnah) tentang keutamaannya, pahala mempelajarinya, luhurnya kedudukan orang-orang yang berilmu dan bahwasanya mereka adalah perwaris para nabi; tidak lain adalah ilmu syariat aqidah dan amaliyah.” (Syarh Riyadhis Shalihin: 3/412)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah: 224, hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah maksudnya adalah ilmu yang apabila seorang hamba tidak mengetahuinya maka hal itu tidak ditolerir baginya. (Hasyiyatus Sindi ‘ala Sunan Ibni Majah: 1/98)
Menjaga Istiqamah setelah Hijrah
1. Niat.
Dari Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk memperoleh dunia atau seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Al-Bukhari: 1, Muslim 1907)
2. Teman yang shalih.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَمَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْهُ شَيْءٌ أَصَابَكَ مِنْ رِيحِهِ وَمَثَلُ جَلِيسِ السُّوءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْكِيرِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْ سَوَادِهِ أَصَابَكَ مِنْ دُخَانِهِ
“Dan permisalan kawan yang baik adalah seperti pemakai minyak wangi, jika kamu tidak mendapatkannya maka kamu mendapatkan bau harumnya. Dan permisalan kawan yang buruk adalah seperti pandai besi, jika kamu tidak mendapatkan hitamnya, maka paling tidak kamu akan mendapatkan asapnya.” (HR. Abu Dawud: 4829, hadits ini shahih menurut Syaikh Al-Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu akan mengikuti agama temannya, karenanya hendaklah salah seorang diantara kalian mencermati kepada siapa ia berteman.” (HR. At-Tirmidzi: 2378, hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani)
3. Belajar dari pengalaman orang lain.
Allah ta’ala berfirman:
ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﻗَﺼَﺼِﻬِﻢْ ﻋِﺒْﺮَﺓٌ ﻟِﺄُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻟْﺒَﺎﺏِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, beliau berkata: “Dalam ayat ini Allah ta’ala berfirman: “Sungguh di dalam kisah para rasul beserta kaum mereka, juga bagaimana Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan Kami binasakan orang-orang kafir; di dalam semua itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”” (Al-Mishbah Al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 703)
3. Berdoa.
Doa yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam panjatkan adalah:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘alaa diinik.” “Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kenapa doa tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Demikian semoga Allah ta’ala senantiasa membimbing kita dengan taufiq dan hidayah-Nya.
Wallahu a’lam