You are currently viewing Dakwah Jarkoni? Mengajak tapi tidak melakukan

Dakwah Jarkoni? Mengajak tapi tidak melakukan

Dakwah

Dakwah dalam definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama. Jika konteks tersebut dikaitkan dengan ajaran agama Islam, maka dakwah merupakan seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran dan syariat agama Islam. Adapun hal tersebut adalah Al-Qur’an dan Hadits.

Semangat dakwah yang digelorakan umat Islam tersebut merupakan bagian dari seruan ajaran Islam, termaktub dalam firman Allah dalam Q.S. Al-Imran; 104

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون

Artinya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dakwah merupakan ajakan, mengajak untuk melakukan kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Amar Makruf Nahi Munkar, ma’ruf merupakan segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

http://www.unsplash.com

Ironinya

Mengajak kepada kebaikan adalah tugas seluruh umat manusia di muka bumi, khususnya umat Islam. Semangat tersebut merupakan langkah untuk mewujudkan cita-cita mulia masyarakat, yakni baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur. Namun, sebuah ironi dalam lingkungan masyarakat yang juga tak jarang kita jumpai. Tidak sedikit orang-orang disekeliling kita atau bahkan kita sendiri mampu untuk mengajak, menyeru kepada kebaikan, namun kita sendiri tidak melakukan kebaikan tersebut.      

Marilah kita lihat budaya Bani Israil. Bani Israil sering sekali namanya disebutkan dalam Al-Qur’an. Israil merupakan sebutan bagi Nabi Ya’kub as. Bani Israil sendiri merupakan keturunan dari Nabi Ya’kub as, atau yang sekarang lebih familiar disebut dengan nama bangsa Yahudi.

Marilah sejenak kita mencoba bermuhasabah pada diri kita sebagai seorang muslim. Selama ini, apakah kita sudah benar-benar menjadi pribadi yang beramar makruf nahi munkar ataukah justru sebaliknya. Bisa jadi, kita yang mengaku umat Islam justru mencerminkan perbuatan-perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh umat Islam itu sendiri.

Karekter Yahudi

Perlu kita semua ketahui, ada beberapa karakteristik dari kaum Yahudi yang telah dijelaskan dalam al-qur’an. Diantara yang dituliskan dalam al-qur’an tersebut antara lain adalah; Pertama, kaum Yahudi mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan. Kedua, kaum Yahudi menyembunyikan kebenaran sedangkan ia sebenarnya mengetahuinya. Poin ketiga adalah, kaum Yahudi menyuruh umatnya untuk menyeru kepada kebajikan (kebaikan). Poin ketiga inilah yang harus kita cermati bersama, yakni menyeru kepada kebajikan (kebaikan).

Allah sudah berfirman dalam Q.S. Al Baqoroh: 44

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Artinya:

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”

Ayat tersebut merupakan penegasan bagi kaum Yahudi. Dari ayat tersebut dijelaskan bahwasanya kaum Yahudi juga memiliki ajaran dakwah yaitu menyuruh umatnya untuk mengerjakan kebajikan, namun mereka melupakan dirinya sendiri. Mereka menyuruh orang lain untuk melakukan kebaikan, namun mereka sendiri tidak melakukan kebaikan tersebut. Disinilah dapat kita temukan adanya kebhatilan amar makruf versi Yahudi. Umat Yahudi mengajarkan amar makruf tetapi terdapat kebatilan antara ucapan dan perbuatan yang mereka lakukan. Umat Yahudi menyerukan amar makruf tetapi mereka sendiri tidak melakukan perbuatan tersebut. Itulah titik pembeda amar makruf umat Islam dengan kaum Yahudi.

Perlu diketahui pula, bahwasanya dalam ajaran Yahudi juga mengenal istilah amar makruf. Umat Yahudi juga mengajarkan untuk menyuruh kepada kebajikan. Lantas, apa yang membedakannya amar makruf versi Islam dengan amar makruf versi Yahudi?

Langkah dakwah yang tepat

Sebagai umat Islam yang kaffah, kiranya kita perlu meneladani dan berpedoman pada Kitabullah, Al-Qur’an. Dalam Q.S. An-Nahl: 125 telah dijelaskan sebagai berikut.

ادْعُ إِلٰى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ  ۖ وَجٰدِلْهُمْ بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ  ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِۦ  ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan Al Hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Q.S. An-Nahl: 125)     


Kita sebagai umat Islam selain memberikan seruan dan ajakan kebaikan, kita juga harus mampu memberikan keteladanan atau contoh yang baik atas seruan tersebut. Ajakan amar makruf harus diimbangi dengan bil hikmah sebagai bentuk keteladanan kepada orang lain. Islam mengajarkan untuk memberikan pelajaran dan pandangan dengan cara keteladanan. Prinsip tersebut sebenarnya sudah tertanam pada diri Rasulullah SAW, sebagai uswatun hasanah umat Islam. Sudah sepantasnya kita meneladani dan mencontoh akhlak baik dan cara beliau dalam berdakwah, bermu’amalah, dan beribadah.

Marilah kita sebagai umat Islam mampu memberikan contoh kebaikan kepada umat yang lain. Kita tanamkan dalam hati kita sebagai umat Islam, bahwa kitalah umat teladan di muka bumi ini, umat yang tidak hanya mampu bicara lantang menyeru kepada kebaikan, namun juga umat yang lantang memberikan teladan untuk kebaikan, saling tolong-menolong, tenggang rasa. Sebagaimana hakikat Dakwah diatas, yakni seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama. Mari bersama-sama kita mengamalkan ajaran kebaikan Islam. Sehingga Islam benar-benar menjadi pakaian kebesaran dan kebanggan kita, sehingga Islam kembali Berjaya di masa yang akan datang.

Semoga kita semua mampu menjadi pelopor umat untuk menyuarakan semangat amar makruf nahi munkar yang juga tercermin dari perbuatan dan tingkah laku kita sehari-hari. Sehingga, kita tidak di cap sebagai umat, ulama, mubaligh, atau tokoh masyarakat yang hanya bisa memerintah, tanpa ada sebuah keteladanan dari diri kita sendiri. Jarkoni, ngajari tur ora gelem nglakoni.

Jazakumullah khoiran katsiran…

Tinggalkan Balasan