Our Blog

HIDAYAH DI UJUNG USIA

Segala puji bagi Allah ta’ala atas segala limpahan nikmat-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas uswah hasanah kita, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikut beliau yang istiqamah di atas ajarannya hingga hari Kiamat.

Di kurun waktu tahun 2004 – 2005 silam ada sebuah kisah nyata yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri tentang perjalanan hidup seorang teman yang sarat dengan hikmah dan pelajaran. Kisah ini dialami salah seorang teman satu kelas saya di salah satu Madrasah ‘Aliyah swasta di Banyumas – Jawa Tengah. Namanya Taufik Hidayat -semoga Allah merahmatimu kawan-, ketika itu kami masih duduk di kelas satu sekolah tersebut. Empat tahun saya mengenal dia, empat tahun pula kami duduk di kelas yang sama (karena memang kami satu kelas semenjak di bangku MTs) membuat saya sedikit banyak mengenal sosok pribadi kawan saya itu.

Ketika kelas satu MTs, kesan pertama mengenal dia, dia adalah sosok yang pendiam, lugu lagi polos. Kami memang tidak terlalu akrab, dia memiliki teman bergaul sendiri, demikian pula saya memiliki teman bergaul tersendiri. Lambat laun waktu terus berjalan, saya perhatikan dia mulai melakukan hal-hal yang cenderung negatif,. Dari semenjak kelas satu hingga kelas tiga MTs, intensitas pelanggaran yang dia lakukan cenderung meningkat. Mulai dari membolos, merokok, sering terlambat, jarang shalat berjama’ah, hingga pergaulan dengan lawan jenis yang melampaui batas. Para guru pun dibuat pusing olehnya, sering dia mendapat teguran, namun seakan-akan teguran itu hanyalah angin lalu baginya. Teman saya yang satu ini memang pendiam, namun diam-diam menghanyutkan.

Menginjak akhir kelas tiga MTs dan kami melewati UN dengan sukses, kami pun melanjutan studi ke jenjang ‘Aliyah. Sekolah yang kami tempati memang masih satu yayasan, mulai dari jenjang TK hingga ‘Aliyah masih berada dalam satu komplek sekolah dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Kami kembali bertemu di kelas yang sama di kelas satu ‘Aliyah bersama sebagian besar teman-teman kami di MTs dulu. Di semester pertama kelakuan Taufik tak jauh berbeda dengan yang dulu, terlebih lagi kini dia sudah membawa motor sendiri untuk aktivitas sekolahnya. Namun menjelang akhir semester pertama, saya perhatikan ada perubahan besar yang terjadi pada dirinya. Dulu ia jarang berada di masjid sekolah, kini dia mulai aktif shalat berjama’ah. Dulu ia sering membolos tidak mengikuti pelajaran di kelas, kini dia menjadi anak yang rajin dan disiplin. Dulu ia sering tidak menjaga pergaulannya dengan lawan jenis, kini ia pun mantap menata pergaulannya menjadi lebih baik. Dulu setiap kali masuk ke kantin, dia langsung menghisap rokok Djarum Filter kesukaannya. Namun kini ia selalu membawa bekal satu botol susu putih setiap kali masuk ke kantin yang sama. Sang empunya kantin dan beberapa teman yang lain pun terheran-heran melihat tingkahnya. Saya masih ingat betul ketika saya bertanya kepadanya perihal sebotol susu yang ia bawa, jawabannya singkat: “Susu ini sebagai pengalihan, setiap kali saya ingin merokok maka saya minum susu ini.” Kurang lebih seperti itulah jawabannya.

Waktu terus berjalan, hingga kami memasuki ujian semester, alhamdulillah Taufik kini terus berusaha memperbaiki dirinya, dan kami pun semakin berteman akrab. Di dalam benak saya terbesit kalimat: “Apakah ini yang dinamakan hidayah?”

Hari-hari ujian semester kami lewati, hingga sampai pada suatu hari, ketika itu hari Kamis. Setelah menempuh ujian di pagi hari Kamis, Taufik yang semakin akrab berteman dengan saya, dia menawarkan untuk mengantar saya pulang dengan motornya, saya pun tanpa ragu menyambut dengan baik tawarannya. Tak disangka ternyata kebaikan Taufik tak berhenti sampai di situ, saya diajak mampir di salah satu warung bakso yang cukup elit untuk ukuran kota Kecamatan, yang ketika itu seumur-umur belum pernah sekalipun saya makan bakso di warung tersebut (maklum uang jajan hanya cukup untuk beli pentol sekali). Kami pun menyantap bakso yang memang bagi saya itu sangat enak rasanya, dan kami menutupnya dengan satu gelas besar es campur segar. Hari semakin sore menjelang ashar, kami yang saat itu masih memakai seragam batik identitas sekolah segeran bergegas pulang, Taufik pun mengantarkan saya pulang.

Di hari berikutnya yaitu hari Jum’at kami tidak berjumpa, karena memang sekolahan kami liburnya hari Jum’at, sedang hari Ahad tetap masuk seperti biasa.

Memasuki hari sabtu pagi saya pun bergegas berangkat ke sekolah menggunakan bus langganan. Di hari itu kami masih ada satu ujian hafalan, yaitu mata pelajaran Mahfudzat yang berisi bait-bait syair sarat dengan nasehat dan pelajaran yang mesti kami hafalkan matannya dan kami pahami kandungan maknanya. Hari itu ujian tak dilaksanakan di sekolah, melainkan di rumah Ustadz yang mengampu pelajaran tersebut. Rumah Ustadz tidak terlalu jauh dari sekolah, cukup bagi kami berjalan kaki beberapa menit untuk sampai ke rumah beliau. Ujian hafalan Mahfudzat menggunakan cara undian, kami dibagi beberapa kelompok untuk kemudian maju menghadap Ustadz sesuai nomor urut undian lalu menyetor hafalan dan menjawab setiap pertanyaan dari beliau.

Nomor undian kelompok sudah keluar, dan ternyata saya dan Taufik kebagian nomor kategori akhir, yang berarti waktu untuk kami menghadap Ustadz diprediksi agak siang. Taufik pagi itu yang masih membawa sebotol susu tak seperti biasanya, dia memang pendiam, namun diamnya ketika itu sungguh berbeda dari biasanya, ada sesuatu yang menurut kami aneh yang sedang terjadi padanya. Saya dan beberapa teman yang masih mengantri ujian di teras rumah Ustadz dikejutkan dan dibuat heran oleh Taufik. Taufik yang ketika itu belum menghadap Ustadz untuk menyetor hafalan tiba-tiba berpamitan ingin pulang. Ketika kami Tanya: “Ada apa ingin pulang, kamu kan belum ujian?” Dia hanya diam sambil bersalaman pamit dengan kami, setelah itu ia pun bergegas pulang dengan memacu motornya.

Di hari itu, sungguh kami tidak menyangka sama sekali jikalau itu adalah saat kami melihat, bertemu, dan bersalaman untuk yang terakhir kalinya dengan Taufik. Sebatas informasi kronologi yang saya dengar bahwa ketika dia berpamitan pulang dengan memacu motornya, di pinggir jalan raya dia bertemu dengan kakak kelas kami yang bernama Yogi -rahimahullah- yang memang rumahnya satu arah dengan rumah Taufik. Dia pun mengajak Yogi untuk pulang bersama, dan -qaddarallah wa ma sya`a fa’ala- ketika itu dia tidak melewati jalan yang biasanya dia lewati untuk berangkat dan pulang sekolah. Dia mengambil jalan lain yang terdapat lintasan rel kereta api yang tak berpalang pintu. Saat dia melintasi tempat tersebut, dia sempat diteriaki oleh warga sekitar yang melihat kereta api sedang melaju dengan cepatnya dan jaraknya sudah semakin dekat. Namun sekali lagi -qaddarallah wa ma sya`a fa’ala- Allah ta’ala sudah menuliskan takdir Taufik dan Yogi di hari itu, kedua teman kami tertabrak kereta api dan meninggal di tempat -semoga Allah merahmati kalian berdua kawan-.

Kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 09.00 WIB, dan ketika itu kami masih sibuk berkutat dengan ujian Mahfudzat di rumah Ustadz. setelah ujian selesai, sebagian teman kami bergegas pulang, namun saya dan seorang teman saya bernama Abdul Rofi’ menyempatkan diri mampir ke kantin langganan untuk meyantap nikmatnya tempe mendoan khas Banyumasan. Betapa terkejutnya kami tatkala kami sampai di kantin dan orang-orang di situ sedang membicarakan tentang sebuah kecelakaan kereta api, dan kami lebih terkejut lagi setelah kami mengetahui bahwa yang menjadi korban adalah teman kami sendiri Taufik dan Yogi, ya Taufik yang pagi itu masih bersama kami. Setelah memastikan kebenaran berita tersebut saya pun menyampaikan kabar duka itu ke teman-teman satu kelas yang lain. Siang itu sekitar pukul 10.30 WIB ingin sekali rasanya saya bertakziyah ke rumah Taufik, namun dengan berbagai pertimbangan saya terpaksa menundanya hingga keesokan harinya, yaitu pada hari Ahad.

Di ahad pagi itu suasana sekolah tak seceria biasanya, terutama kami teman satu kelas Taufik, suatu musibah yang sama sekali tidak terduga telah menimpa kami, dan pagi hari itu juga kami bertakziyah ke rumah Taufik. Kehilangan seorang teman akrab bukanlah suatu hal yang ringan, apalagi setelah melihat track record teman kami tersebut, dia yang dulu sempat terjerembab di lembah hitam, namun di penghujung usianya dia kembali ke jalan yang benar, kebiasaan dan hal-hal negatif telah dia tinggalkan, semoga Taufik meninggal dalam keadaan husnul khatimah.

Kisah ini mengingatkan saya akan sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa amal seseorang itu tergantung pada akhirnya, dan semua itu sudah Allah tetapkan semenjak seorang janin berada di dalam rahim ibunya. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما, ثم يكون في ذلك علقة مثل ذلك, ثم يكون في ذلك مضغة مثل ذلك, ثم يرسل الملك فينفخ فيه الروح, ويؤمر بأربع كلمات: بكتب رزقه, وأجله, وعمله, وشقي أو سعيد. فوالذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار فيدخلها. وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة فيدخلها.”

“Sesungguhnya seorang di antara kalian mulai diciptakan dalam perut ibunya setelah diproses selama empat puluh hari. Kemudian menjadi segumpal darah pada empat puluh hari berikutnya, lalu menjadi segumpal daging pada empat puluh hari berikutnya. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh ke dalam dirinya dan diperintahkan untuk menulis empat hal: rezekinya, ajalnya, amalnya, dan sengsara atau bahagianya. Demi Dzat yang tidak ada sesembahan (yang berhak disembah dengan benar) selain-Nya, sungguh ada seorang darimu yang mengerjakan amal perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dengan surga hanyalah satu hasta, namun takdir telah mendahuluinya hingga ia mengerjakan amal perbuatan ahli neraka dan akhirnya ia pun masuk neraka. Dan sungguh seorang di antara kamu ada yang mengerjakan amal perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dengan neraka hanyalah satu hasta, namun takdir telah mendahuluinya hingga ia mengerjakan amal perbutan ahli surga dan akhirnya ia pun masuk surga.” (HR. al-Bukhari: 3208, Muslim: 2643)

Imam Ibnu Daqiq rahimahullah ketika menjelaskan tentang seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga namun pada akhirnya masuk neraka, beliau berkata: “Sesungguhnya amal yang dia lakukan tidaklah benar, karena ia melakukannya atas dasar riya` dan sum’ah.” (Ar-Raudhah An-Nadhiyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hal: 59)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanya apa hikmahnya ketika Allah ta’ala menghinakan seseorang yang mengerjakan amal perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dengan surga hanyalah satu hasta, namun takdir telah mendahuluinya hingga ia mengerjakan amal perbuatan ahli neraka dan akhirnya ia pun masuk neraka? Beliau rahimahullah menjawab: “Sesungguhnya hikmah itu semua adalah bahwa seseorang yang beramal dengan amal perbuatan ahli surga, tidak lain adalah amalan ahli surga yang tampak di hadapan manusia (menurut pandangan orang itu adalah amalan ahli surga), padahal hakikatnya dia memiliki maksud yang jelek dan niat yang rusak, hingga niat yang rusak ini mengalahkan (hatinya) dan hidupnya pun ditutup dengan su`ul khatimah, na’udzubillah. Oleh sebab itu maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hingga jarak antara dirinya dengan surga hanyalah satu hasta” adalah telah dekat ajalnya, bukan ia menjadi dekat dengan surga karena amalnya.” (Ar-Raudhah An-Nadhiyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hal: 59)

Banyak di sekitar kita orang-orang yang tampaknya shalih dan banyak melakukan amalan ketaatan, namun hal itu tidak lantas menjadi jaminan baginya untuk menjadi ahli surga, karena sesungguhnya hanya Allah lah yang mengetahui perkara hatinya (niatnya), dan tentu kita menyikapi orang-orang tersebut sebagaimana zhahirnya, karena kita tidak dibebani untuk menilai apa yang ada di dalam hati seseorang. Demikian juga sebaliknya, banyak di sekitar kita orang-orang yang tampaknya melakukan hal-hal negatif (maksiat), meskipun kita menyikapi keadaan orang tersebut sesuai zhahirnya akan tetapi tak layak bagi kita (dan memang bukan wilayah kita) untuk serta merta menghakiminya sebagai ahli neraka, karena sesungguhnya kita tidak tahu bagaiama akhir kehidupan orang tersebut. Kita dakwahi mereka dengan cara yang baik dan kita doakan hidayah untuk diri kita dan diri mereka.

Wallahu a’lam bis shawab

Disusun oleh: Irfan Ma’ruf Maulana

Madiun, Selasa 3 Sya’ban 1437 H – 10 Mei 2016

Referensi:

  1. Shahih al-Bukhari, karya Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, cetakan Dar Ibni al-Jauzi – Kairo, tahun 2010 M
  2. Shahih Muslim, karya Imam Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi, cetakan Dar Ibni al-Jauzi – Kairo, tahun 2010 M
  3. Ar-Raudhah An-Nadhiyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah (Majmu’atul Ulama), dikumpulkan oleh Sami Anwar Jahin, cetakan Al-Maktab Ats-Tsaqafi – Kairo, tahun 2004

Post A Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *