Makna Hijrah
Secara bahasa hijrah berasal dari bahasa Arab “Hajara – yahjuru- hajran” yang berarti memutuskan, meninggalkan dan berpisah. (Lihat Kamus Al-Munawwir)
Hijrah bermakna keluar dari suatu tempat menuju tempat lainnya. Hijrah juga bermakna berpindahnya seseorang dari suatu tempat menuju tempat lain untuk mencapai suatu tujuan. (Lihat Mu’jam Al-Ma’ani)
Hijratur Rasul bermakna keluarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Makkah menuju Madinah pada tahun 622 M. (Lihat Mu’jam Al-Ma’ani)
Bulan-Bulan Hijriyah yaitu Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadal Ula, Jumadal Akhirah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah. (Lihat Mu’jam Al-Ma’ani)
Kalender Hijriyah adalah penanggalan yang dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Makkah menuju Madinah. Para peneliti (sejarah) bersepakat bahwa permulaan bulan Muharram tahun pertama hijriyah bertepatan tanggal 16 Juli 622 M. (Lihat Mu’jam Al-Ma’ani)
Inilah makna hijrah secara hissi (fisik). Namun yang dimaksud hijrah pada pembahasan kali ini adalah hijrah yang bersifat maknawi, yaitu berpindahnya seseorang dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah, keburukan menuju kebaikan, dan gelapnya kebodohan menuju ilmu yang terang-benderang.
Mengingat Tujuan Kita Diciptakan
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (56)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat 56)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa maksudnya adalah: “Sesungguhnya Aku menciptakan mereka agar Aku memerintahkan mereka untuk menyembah-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.” (Al-Mishbah Al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1367)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan makna “supaya mereka menyembah-Ku” pada ayat di atas: “Yakni agar mereka mengakui kehambaan mereka kepada-Ku, baik dengan sukarela maupun terpaksa.” (Al-Mishbah Al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1367)
Kita diciptakan oleh Allah ta’ala untuk suatu tujuan yang agung yaitu supaya kita menyembah dan beribadah kepada Allah ta’ala. Lalu apakah yang dimaksud dengan ibadah?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa: “Ibadah adalah sebuah ungkapan yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah ta’ala berupa ucapan dan perbuatan baik yang tampak atau yang tidak tampak.” (Al-‘Ubudiyyah, hal. 44)
Manusia Tak Ada yang Sempurna
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Semua anak cucu Adam banyak melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi: 2499, Ibnu Majah: 4251, Ad-Darimi: 2769. Hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani)
Makna “kullubni adam khaththa`un” adalah banyak atau sering melakukan kesalahan (dosa). (Tuhfatul Ahwadzi: 7/170)
Sedangkan makna “wa khairul khaththa`ina at-tawwabun” adalah mereka yang kembali kepada Allah ta’ala dengan bertaubat dari maksiat menuju taat. (Tuhfatul Ahwadzi: 7/171)
Kewajiban Taubat Nashuha
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ..
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nashuha (taubat yang semurni-murninya), mudah-mudahan (pasti) Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai..” (QS. At-Tahrim: 8)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini: “Yakni taubat yang sebenar-benarnya lagi pasti, maka akan terhapuslah semua kesalahan yang terdahulu. Dan taubat yang sebenarnya dapat memperbaiki diri pelakunya dan menyegarkannya kembali serta menjadi benteng bagi dirinya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang rendah.” (Al-Mishbah Al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1471)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar (meminta ampunan) dan bertaubat kepada Allah dalam satu hari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Al-Bukhari: 6307
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertaubat seratus kali dalam sehari.” (Muslim: 2702)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menerangkan kedua hadits di atas, beliau berkata bahwa di dalam dua hadits tersebut terdapat dalil wajibnya taubat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan hal tersebut dalam sabdanya: “Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah..”
Apabila seorang manusia bertaubat kepada Allah maka dia memperoleh dua faidah:
- Melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya, di dalam hal ini terkandung semua kebaikan dan sumber kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
- Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana beliau bertaubat dalam sehari sebanyak seratus kali. Yaitu beliau mengucapkan: “Saya bertaubat kepada Allah, Saya bertaubat kepada Allah. (Syarh Riyadhis Shalihin: 1/98)
Syarat-Syarat Taubat Nashuha
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa syarat taubat nashuha ada lima:
- Ikhlas karena Allah ta’ala.
- Menyesal atas dosa yang telah dilakukan.
- Berhenti total dari perbuatan dosa.
- Bertekad kuat untuk tidak mengulangi dosanya di masa depan.
- Dilakukan pada waktu-waktu diterimanya taubat. (Syarh Riyadhis Shalihin: 1/86-91)
Taubat Diiringi Ishlah (Perbaikan)
Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 39)
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi hafizhahullah menjelaskan bahwa barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu, yaitu bertaubat dari dosa mencuri setelah ia menzhalimi dirinya dengan perbuatannya itu. Lalu ia memperbaiki dirinya dengan bertaubat, di antaranya dengan cara mengembalikan harta curiannya (kepada pemiliknya). Maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya; karena Allah Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat dan Maha Penyayang bagi orang-orang yang beriman. (Aisar At-Tafasir: 1/629-630)
Bersambung ke bag. 2